Posted by erina on Sunday, November 27, 2011.


Gado-gado Kebudayaan
Sambut Tahun Baru Hijriah

Tak terasa tahun baru telah tiba, tahun baru Islam 1433H. Tak kalah dengan tahun baru Masehi, tahun baru Hijriyah pun dirayakan dengan meriah. Seluruh umat Islam menyambut kedatangan tahun baru Hijriyah dengan cara dan adat yang berbeda-beda sesuai dengan kebudayaan masing-masing daerah. Entah itu sesuai dengan ajaran Islam atau tidak, yang pasti cara itu sudah ada sejak dahulu dan diwariskan secara turun-temurun.
Di Solo misalnya, perayaan pergantian tahun Islam atau tahun baru Jawa yang akrab disebut dengan Malam Siji Suro tak kalah meriah dengan perayaan tahun baru masehi. Bukan hanya warga keraton saja yang merayakan, tetapi warga dikampung-kampungpun sudah menyiapkan acaranya masing-masing. Ada yang merayakannya dengan cara kenduri (hampir sama seperti tukar makanan tetapi diselingi dengan acara doa bersama), ada juga yang merayakannya dengan cara yang ssederhana yaitu dengan sekedar berkumpul dan lek-lekan(begadang) di pos ronda atau di gang-gang sambil makan bersama. Ada juga sebagian warga di Mangkunegaran yang melakukan berbagai ritual, salah satunya adalah ritual topo bisu. Caranya dengan jalan-jalan sepanjang malam mengelilingi Mangkunegaran tanpa berbicara sedikitpun. Tak ketinggalan ritual pencucian pusaka yang biasa disebut dengan jamasan dan dikirabkan keliling pura Mangkunegaran.
jamasan di Mangkunegaran

Sedangkan di Keraton Surakarta, dilakukan kirab pusaka mengelilingi Benteng Keraton yang diikuti beberapa kerbau bule (albino) sebagai cucuk lampah.
kerbau bule sebagai cucuk lampah

Lain di Solo, lain pula di Boyolali. Ratusan pedaki (sekitar 400) dari berbagi daerah merayakan malam 1 Suro dengan naik ke puncak Gunung Merapi melalui pintu pendakian di Desa Lencoh, Selo, Kabupaten Boyolali.
Begitu banyak budaya perayaan malam 1 Suro atau malam pergantian tahun Islam di Indonesia. Akan tetapi, bukankah menyambut tahun baru Islam dengan cara mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta itu lebih baik. Kita juga harus ingat, dunia sudah tua dan umurpun sudah tak lagi muda dan kita tidak tahu kapan datangnya kematian. Coba kita ingat lagi peristiwa-peristiwa yang lalu, yang terjadi di negeri kita, mulai dari banjir, tanah longsor, gempa bumi bahkan sampai Tsunami. Belum lagi masalah Lumpur Lapindo yang sampai saat ini belum terselesaikan. Apakah dalam keadaan seperti ini  kita pantas bersuka cita dengan berlebihan??
Bukakankah lebih baik menyambut kedatangan tahun baru dengan sholat, berdzikir dan amal sholeh serta sholawat kita memohon ampun atas dosa-dosa yang telah lalu, serta bersyukur kepada Allah atas segala karunia-Nya.
Kebudayaan tetap kebudayaan, meskipun itu salah namun tak mudah bagi kita untuk membenarkannya. Butuh waktu yang tak sebentar pula untuk merubahnnya. Mungkin kita bisa mulai dari hal-hal kecil telebih dahulu, yaitu mulai dari diri kita sendiri dulu yan berubah. Berubah ke arah yang baik dan melangkah di jaln yang benar. Semoga Allah selalu membimbing setiap langkah kita. 
Amin.

2 Responses to

  1. Emilia Yulisita

    Si bule jadi artis dadakan yah kalo malam tahun baru hijriyaah :D

  2. erina

    haha kalah kita :)

Leave a Reply