2 Comments
Gado-gado
Kebudayaan
Sambut Tahun Baru Hijriah
Tak terasa
tahun baru telah tiba, tahun baru Islam 1433H. Tak kalah dengan tahun baru Masehi,
tahun baru Hijriyah pun dirayakan dengan meriah. Seluruh umat Islam menyambut
kedatangan tahun baru Hijriyah dengan cara dan adat yang berbeda-beda sesuai
dengan kebudayaan masing-masing daerah. Entah itu sesuai dengan ajaran Islam
atau tidak, yang pasti cara itu sudah ada sejak dahulu dan diwariskan secara
turun-temurun.
Di Solo
misalnya, perayaan pergantian tahun Islam atau tahun baru Jawa yang akrab
disebut dengan Malam Siji Suro tak
kalah meriah dengan perayaan tahun baru masehi. Bukan hanya warga keraton saja
yang merayakan, tetapi warga dikampung-kampungpun sudah menyiapkan acaranya
masing-masing. Ada yang merayakannya dengan cara kenduri (hampir sama seperti tukar makanan tetapi diselingi dengan
acara doa bersama), ada juga yang merayakannya dengan cara yang ssederhana
yaitu dengan sekedar berkumpul dan lek-lekan(begadang)
di pos ronda atau di gang-gang sambil makan bersama. Ada juga sebagian warga di
Mangkunegaran yang melakukan berbagai ritual, salah satunya adalah ritual topo bisu. Caranya dengan jalan-jalan
sepanjang malam mengelilingi Mangkunegaran tanpa berbicara sedikitpun. Tak ketinggalan
ritual pencucian pusaka yang biasa disebut dengan jamasan dan dikirabkan keliling pura Mangkunegaran.
jamasan di Mangkunegaran |
Sedangkan di
Keraton Surakarta, dilakukan kirab pusaka mengelilingi Benteng Keraton yang
diikuti beberapa kerbau bule (albino) sebagai cucuk lampah.
kerbau bule sebagai cucuk lampah |
Lain di
Solo, lain pula di Boyolali. Ratusan pedaki (sekitar 400) dari berbagi daerah merayakan
malam 1 Suro dengan naik ke puncak Gunung Merapi melalui pintu pendakian di
Desa Lencoh, Selo, Kabupaten Boyolali.
Begitu banyak
budaya perayaan malam 1 Suro atau malam pergantian tahun Islam di Indonesia. Akan
tetapi, bukankah menyambut tahun baru Islam dengan cara mendekatkan diri kepada
Sang Maha Pencipta itu lebih baik. Kita juga harus ingat, dunia sudah tua dan
umurpun sudah tak lagi muda dan kita tidak tahu kapan datangnya kematian. Coba kita
ingat lagi peristiwa-peristiwa yang lalu, yang terjadi di negeri kita, mulai
dari banjir, tanah longsor, gempa bumi bahkan sampai Tsunami. Belum lagi
masalah Lumpur Lapindo yang sampai saat ini belum terselesaikan. Apakah dalam
keadaan seperti ini kita pantas bersuka
cita dengan berlebihan??
Bukakankah lebih
baik menyambut kedatangan tahun baru dengan sholat, berdzikir dan amal sholeh
serta sholawat kita memohon ampun atas dosa-dosa yang telah lalu, serta bersyukur
kepada Allah atas segala karunia-Nya.
Kebudayaan
tetap kebudayaan, meskipun itu salah namun tak mudah bagi kita untuk
membenarkannya. Butuh waktu yang tak sebentar pula untuk merubahnnya. Mungkin kita
bisa mulai dari hal-hal kecil telebih dahulu, yaitu mulai dari diri kita sendiri
dulu yan berubah. Berubah ke arah yang baik dan melangkah di jaln yang benar.
Semoga Allah selalu membimbing setiap langkah kita.
Amin.